Welcome to my blog

Selamat datang di webblog saya. Saya senang menyapa anda semua.

Sabtu, 16 April 2016

Insoraki



Insoraki adalah nama seorang perempuan yang baik hati. Ayahnya adalah seorang kepala kampung, tepatnya di kampung Meokbundi yang sangat dihormati. Walaupun dia terlahir sebagai perempuan yang baik namun, suatu ketika penduduk kampung dikejutkan dengan keadaan yang tiba- tiba terjadi pada dirinya, pada diri Insoraki.

Insoraki hamil diluar nikah. Insoraki melahirkan anak itu, yang dinamainya Manarbeu. Anak ini lahir, dan beberapa bulan kemudian, ayah Insoraki mengadakan pesta di tempat terbuka. 

Sebagai seorang kepala kampung di Meokbundi, Ayah Insoraki memerintahkan kepada para pemuda dari sekitar Meokbundi dan diantara pelosok Meokbundi berkumpul di tempat pesta yang akan diadakan. Ayah Insoraki ingin membuktikan siapa ayah dari Manarbeu.

Pada hari itu, pada hari yang ditentukan pesta meriah terjadi. Diatas panggung, ayah Insoraki, Insoraki, dan anak Insoraki, Manambeu, duduk, yang dikelilingi tokoh- tokoh adat di kampung Meokbundi. 

Didepan panggung, para pemuda berbaris untuk diuji apakah salah satu dari mereka adalah bapak dari Manarbeu. Dibaris terjahu dan terakhir dari barisan para pemuda, berbaris juga lelaki tua yang dipandangpun tak layak untuk bersahabat. Dia adalah Manarmakeri.

Hari semakin siang, dari barisan para pemuda itu, Manarbeu tidak menunjukan reaksi apapun. Sampai pada giliran, lelaki tua itu, menunjukan dirinya didepan panggung itu, dan Manarbeu menunjukan reaksinya, dan menuju lelaki tua itu.

Seluruh kampung heran. Manarbeu memilih lelaki tua itu adalah ayahnya. Tak dikata, Manarmakeri menjadi ayahnya.

Manarkeri tak layak dipandang, juga sudah berumur tua, sehingga masyarakat kampung Meokbundi mengusir keluarga manarmakeri. Jadi Manarmakeri, Insoraki, dan Manarbeu pergi meningalkan kampung Meokbundi. 

Mereka pergi dengan perahu, sebuah sampan, kemudian tiba di sebuah pulau berpasir. Pulau itu adalah pulau Numfor, kemudian lanjut ke raja Ampat.

Manarmakeri adalah pria asal Biak. Awalnya, Manarmakeri dari Biak menyebrang mengunakan sampan/ perahu hingga sampai di Kampung Meokbundi. Keseharian manarmakeri tak lepas dari menyadap nira ( saguer kelapa ), yakni minuman tradisional yang memabukkan.

Manarmakeri menanam pohon tersebut, tetapi saat panen akan berlansung, hasil panennya sudah diambil orang lain. Lantaran pohon yang disukai Manarkeri, sehingga Manarmakeri menjaga pohon- pohon itu Sepanjang malam diatas pohon. Manarmakeri ingin memastikan pencuri dari hasil- hasil tersebut.

Dari situlah, Suatu malam, saat bulan purnama tiba, Manarmakeri menangkap sesuatu yang menghabiskan tanaman favorinya itu. Sesuatu yang ditankap itu adalah Makmeser( bintang pagi). 

Dari kesepakatan mereka berdua, manarmakeri lepas makmeser dan nantinya makmeser memberi petunjuk atas kerinduan Manarmakeri lainnya; yakni memiliki seorang istri. 

Akhir dari itu, Manarmakeri ketemu anak kepala kampung Meokbundi. Memiliki anak, Namanya Manarbeu. 

Manarmakeri, Insoraki dan Manarbeu adalah Keluarga yang suci. Sebuah keluarga yang dirindukankan hingga saat ini. Insoraki menjadi istri dari Manarmakeri dan menjadi ibu untuk Anaknya Manarbeu. Manarbeu, menurut ayahnya, adalah suatu kelak, anaknya membawa damai.
( Berbagai sumber)

*) Penulis ulang adalah mahasiwa Papua

Senin, 02 Februari 2015

A- Drew- Me


Hasil Karya Andreas Takimai
Memang begitu judulnya. Sa pu cerita bersama satu poto. Foto itu diambil oleh ade andre di Facebook (FB) dan mengambar sa. Jadi cerita tentang sa itu begini.

Sore, pas jam 5 sore sa online diwarnet. Pas begini, sa lihat di poto profilnya ade andre. Dia mengambar tuan besar, Tuan Arnold Clemens Ap. Seorang kebanggaan Orang Papua. Ayo tong kembali ke cerita dulu. Nanti baru tong bahas Pace Ap dia.

Iyo pas begini, tunggu satu jam kemudian baru, ade Andre dia lagi online. Sa lansung chating deng ade dia. Sa sapa dia. Sa tanya dia pu kabar sampe, sa puji dia karya tentang Arnold Ap.

Dia banyak cerita. Dia bilang,gambar itu dia yang gambar. Sa pikir tidak ka, tetapi ternyata, sa bisa pastikan hal itu. Ade andre bilang, dia gambar pake pensil sama kertas saja baru di scan. Trus jadi, Katanya begitu. Pokoknya indah.

Jadi, saat itu, Sa tahu Andre itu saat sa SMP. Sa tra tahu ade dia pu bakat atau trada. Tapi setelah sa ketemu kemarin di Jogja maupun di Nabire, dan Wadou, sa lihat dia anak yang berbakat. Sa lihat intinya dia anak multi talenta. Salah satunya mengambar ini. Sa pikir itu, Puji Tuhan.

Itu yang sa liat dari ade satuini. Jadi, Sa pu poto yang dia ambil dari sa pu facebook juga dia gunakan untuk mengambar sa. Besoknya, sa online baru liat begini, sa poto su jadi.

Begitu sudah cerita tentang sa pupoto itu. Makanya jangan salah kalau sa kasih judul itu, an-drew- Me. A Adalah seorang. Drew adalah tergambar. Me adalah Aku. Jadi su jelas tho, klo seorang seniman hebat yang sedang mekar ini mengambar saya. Yah, A drew- Me. Poto sa tergambar oleh seorang Andre.

Ade Andre, sa pikir ko kasih juga untuk hadiah Ulang tahun sa. Sa ucapkan terima kasih sama ko, sa pu ade. Judul yang sa tulis juga sesuai deng dik pu nama, Andre. Tinggal minus n tengah antara fonem a dan d dan tambah fonem w dibelakangnya. Sa pikir begitu dik.

Hormat diberi diks. Salam Hormat dik. Ide Umina, ke weneka. 

Payung mana?

 

Ada- ada saja teman- teman ini berteriak. Minta jas hujan, dan Payung. Kami berlomba- lomba mengunakan payung dan jas hujan yang ada. Mungkin lebih tepatnya yang duluan dapat. Kecuali pemiliknya.

Saya termasuk orang yang beruntung memiliki payung. Apalagi akhir- akhir ini hujan  melanda Bogor. Kemudian Banjir Melanda Jakarta. Semoga tidak selayak kekerasan melanda Papua. Karena  hebat. Kalau hujan cukup diatasi dengan payung.

Payung yang saya miliki ini, tak pernah alpa dari hantaman hujan gerimis hingga deras. Matahari tak memancarkan senarnya secara baik. Cuaca cukup buruk.

Saya teringat pepatah lama. “ sediakan payung sebelum hujan”. Lebih tepatnya “ sediakan payung sebelum ke Bogor”. Seperti biasanya juga, hujan menjadi teman setia kami disini. Apalagi untuk kondisi saat ini. Semoga hujan di Tahun 2014 tidak lebih hebat seperti panasnya setuasi politik di tahun 2014.

Ahh sudah, abaikan, politik dulu. Kembali ke payung.

Payung berwarna putih adalah Payung yang saya miliki sejak lama. Payung ini masih terawat hingga sekarang. Walaupun bagaimana pun juga sebagai pengaman dari terpaan hujan.

Di Bogor hujan bukan hal baru. Sudah menjadi ciri khas. Jadi, Ayo teman kita miliki payung dari sekarang. Atau jas hujan. Supaya kita terlindungi dari hujan deras yang ada. Supaya aman melakukan aktivitas kita.

Syukur- syukur, kepada mereka yang baru datang, sekalian bawa payungnya. Atau beli di tempat jual. Saya beli saat BBM belum dinaikkan harganya. Harganya terjangkau. Sekarang dan nanti, Tanya pada Pemimpin besok?

Kebanyakan di Papua, payung bukan kebutuhan yang mendesak. Yang lebih mendesak di Papua adalah kedamaian, keadilan, dan ketentraman hidup. Kenyamanan hidup karena kekerasan yang sedang terjadi disana.

Kembali lagi ke payung. Kalau kehujanan cari payung untuk kenyamanan dari basah. Tapi kalau kekerasan di Papua kembali lagi ke Payung. Payung hukum. Payung mana?

Tenda Putih.



Cahaya matahari ini tak tampak. Hanya titik- titik butir di kota Jakarta, sore ini. Gerimis. Saya hanya lewat sebentar. Arahkan muka ke depan, ada satu tenda putih. Tenda ini, kini rasanya tak berpenghuni. Mungkin sebelumnya, belum diketahui secara pasti. Tapi mungkin pasti.

Memang benar, tenda ini ada di sudut kota dari pusat Jakarta. Tenda ini bertuliskan “ Pos Kesehatan”.
Saya lansung terbayang hingga pada banjir di Jakarta. Kemudian juga di Papua. Banjir yang melanda kota Jakarta, Jayapura papua dan Timika papua dalam beberapa hari belakangan.

Aku hanya berpaling sebentar, kemudian saya ketemu lelaki. Dia membunyikan beberapa lagu di sekitar tempat itu. Tak jahu dari tenda putih yang kini tak berpenghuni karena berada di sudut kota. Pria yang diduga berumur 30- an ini cukup antusias bermain dengan beberapa CD lagu untuk diputarkan ditempatkan itu.

Sejatinya, dia sedang menghibur masyarakat Jakarta yang lewat disitu. Mungkin juga bagi para korban banjir di Jakarta. Karena, ada yang bilang, Musik adalah penyeralas jiwa. Tentu hiburan itu harus ada bagi korban Jakarta, korban di Jayapura papua dan korban banjir di Timika. Dalam beberapa hari belakangan secara bersama.

Kuhanya ucapkan selamat menghibur. Apalagi bagi para korban. Korban musibah alam ini. Karena alam kita ini, sudah tak bersahabat. Walaupun, bicara alam tentu bicara Manusia yang menjadi aktor utama bumi. Manusia yang memutuskan untuk melakukan apapun dengan prinsip utama, “Menjaga Keseimbangan Ekosistem Alam Semesta”. Tapi itulah musibah terjadi.

Kutakpantas lagi kalau katakan musibah dimanapun, yang berkaitan dengan hukum alam, manusia tak mampu mengalahkan. Walaupun manusia adalah aktor bumi. Tak pantas juga, kuucapkan ini adalah keserakahan manusia terhadap alam semesta.

Ada Fauna. Ada Flora. Ada Manusia. Ada benda- benda langit yang menjadi satu kesatuan ekosistem kompleks. Aktornya adalah manusia. Manusia yang memutuskan tuk menjaga keseimbangan itu. Tapi, bila keputusan salah oleh manusia, maka jangan salahkan hukum Alam yang ada dan akan ada ini.

Saya setuju kata para pemikir dan Filsuf besar Yunani ini, “ Manusia yang hidupnya tak reflektif terhadap hidup, maka tak layak untuk dihidupi “.

Satu jam melihat tenda putih telah usai. Tenda putih telah usai tapi, para korban di Jakarta maupun Papua butuh penanganan lebih lanjut. Misalnya, penyelasan jiwa dengan Musik seperti lelaki periang tadi. Atau apalah yang menjadi penanganan korban oleh semua pihak.

Intinya, Hukum alam ya hukum alam. Manusia adalah bagian dari hukum alam itu. Dan manusia adalah aktor utama untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam semesta ini. Dan semestinya, banjir di Jakarta dan Papua, selayakya menjadi pengalaman. Sebagaimana yang dikatakan Pemikir yunani tadi.

Tenda putih ada karena akibat hukum alam ini. Sama juga dengan lelaki tadi. Saya satu jam di sudut kota Jakarta juga karena demikian.

Ini sudah kenalanku,disuatu sudut kota, sore tadi.

Anigou


Yoka kaga, Yoka kaga
anigou-anigou,
bedo manaa tete, bedo manaa tete
anigou-anigou

Demikian sebuah lagu yang Selalu gemar dinyanyikan oleh anak- anak belia di Pedelaman Papua, Khususnya di Mee Pago di Papua. Lagu yang mengambarkan dunia mereka untuk melangkah ‘Anigou’ untuk memandang datangnya sang fajar pagi dunia. 

Sebuah seruan untuk anak- anak Papua,  ‘ Anigou’, untuk melihat datangnya matahari. Pahamilah, terjemahannya: 
Anak malas, anak malas
Bangunlah- bangunlah
Ayam telah berkokok, ayam telah berkokok
Bangunlah- bangunlah

Kaka Melita dan Anak- Anak di Waghete, Papua.

Nyanyian lagu ini kembali diungkapan oleh Kakak Melita Tan. Melita Tan adalah guru Volunteer dari Jakarta yang sempat menjadi Pendidik selama satu tahun di SD YPPK Waghete, Deiyai Papua. Dia terharu, bahagia, dan senang selama satu tahun bisa hadir bersama anak- anak dan Umat di sana.

***

Bulan juli 2014, tepat di suatu misa biasa, saya duduk membisu mengikuti misa perayaan yang sedang berlansung. Saya mengikuti misa hingga masuk ke Sebelum berkat penutub.

Tanpa diduga, Romo yang memimpin misa pagi itu, memangil Merlita untuk menyampaikan ucapan perpisahaan kepada anak- anak dan Umat di Waghete. Melita menyampaikan ucapan perpisahaannya dengan terharu di depan podium. 

Dalam ucapannya, Melita kembali mengungkapkan ‘Anigou’ yang katanya dikutip dari lagu anak- anak pedelaman ini. Melita mengatakan, Pendidikan anak- anak Papua harus anigou’. Pendidikan harus bangun.

Sebagai pendidik, dia berkali- kali mengatakan  pendidikannya harus Anigou. Mungkin, lebih jahu, bangun dari kemalasan realitas untuk menatap datangnya matahari.

***

Bukunya Br Dieng Sj, lagi di Jual di Jakarta
Kita kalau membaca buku Br Dieng tentangdari menghapus inggus hingga bermain computer“,  adalah bagaimana melangkah kedunia luas untuk memandang matahari. Disana bruder ingin menunjukan anak- anak pun tak ketinggalan dengan anak- anak di tempat lain di Papua, barangkali di Jawa, apalagi dalam hal computer, misalnya.

Buku yang mengambarkan kondisi anak- anak TK Komugai hingga Smp Yppk di Waghete. Anak TK Komugai, Misalnya Feronika Pekei, anak belia, yang setiap pagi setelah anigou dalam arti budaya menuju sekolahnya di TK Komugai. Begitupun dengan anak- anak belia lainnya cukup semangat dengan dunia mereka dengan aneka permainan disana. Misalnya Feronika sendiri, Amelia Mansima, dan Yanuaria Doo dan teman- temannya di Komugai.

Juga misalanya melalui blognya https://diengsj.wordpress.com/, kondisi anak- anak yang dihapus inggus mereka, oleh guru- guru yang membentuknya dengan kelembutan dan cinta. Pendidiknya adalah Ibu Douw, Mamanya Alfret Palai dan beberapa Suster. Mereka benar- benar mengikuti semangat cinta dari Mother Thresia dari Calcuta India.

Anak- anak TK Komugai suatu saat pasti ingat, mungkin misalnya ibu guru selalu menertibkan mereka sebelum masuk. Anak- anak dihapus hingga memandikan mereka dengan sabun. Bahkan bagaimana anak- anak belia ini benar- benar menikmati dunia mereka. Dari bermain ayunan hingga berkejaran.

Dari pagi Anigou hingga pergi ke TK Sendirian atau diantar orang tua. Mereka cukup menikmatinya, mungkin. Mungkin, sebelum tidur,  ingat bermain ayunan seharian di TK, Barangkali. Begitulah bukti Anigou sesuai pengalaman Feronika Pekei dan teman- temannya yang digambarkan dalam buku itu.

***

Buku yang ditulis oleh Johanes Supriyono tentang Pendidikan
Mari melangkah keatas.Yakobus Wayapa adalah satu anak yang diuraikan dalam bukunya Johanes Supriyono, yang sebelumnya sebagai pendidik Nabire Papua, dalam bukunya“ melangkah ke dunia luas: Impian dan Pergulatan anak- anak Papua ”.

Yokobus Wayapa adalah Anak yang berasal dari Homeo, kabupaten Intan Jaya. Sepertinya kisahnya adalah, Yakobus adalah Penemu Setan Putih. Supriyono menulis  mengkisahkan beberapa kali dari Yakobus untuk mengenang pria wayapa yang murah senyum ini.

Yakobus Wayapa adalah satu contoh pendidikannya didapat secara alami. Di hutan saat berburuh dan sebagainya. Dari pengalaman yang ada minimal menjadi kumpulan kecil dari pengetahuan, barangkali. Dari pengambaran kisahnya, Supriyono berharap dari tempat yang jahu dan melalui doa, Yakobus wayapa telah anigou untuk melihat matahari.

***

Laporan Jurnalistik Willem Bobii
Belum lagi pengambaran buku tema pendidikan oleh Willem Bobii tentang, "Meregenerasi Manusia Asmat". Laporan jurnalistik ini dari negeri Panggung Asmat. Kondisi bagaimana Dana Otsus untuk anak- anak dimakan oleh Buaya. Buaya yang ada di rawa- rawa. Buaya  menghantam habis dana otsus hingga anak- anak di Asmat tidak dapat sumber harapan untuk dunia mereka.

Buaya membentuk benteng  untuk merebut Dana Otsus. Manusia yang berlalu lalang pun, tidak diperhatikan dengan baik. Apalagi soal. manusia yang ingin belajar di sekolah dirambas oleh buaya. Intinya, Dana Otsus dirampas oleh Buaya.

Itulah sebenarnya belum ‘ Anigou’.

***

Ungkapan ‘Anigou ‘ adalah ungkapan yang kembali diungkapkan berkali-kali oleh kakak Melita Tan dalam ucapan perpisahaanya, setelah menyelesaikan guru volunteer selama satu tahun. Dia mengajak kepada anak- anak dan umat untuk anigou. Minimal, anigou melalui Pendidikan. Pendidikan sebagai jalan menatap datangnya matahari.

Munkin barangkali, Merlita ingin lihat Petrus Mote, yang dikisahkan dalam blog pribadinya di https://melitarisa.wordpress.com/2015/01/15/belajar-jadi-jagoan-anak-petrus-mote/ ini dapat melihat Matahari. Dengan Proses Anigou, seperti misalnya Petrus Mote, atau semua anak- anak di Waghete atau di Seluruh Papua dapat melihat Mahatahari. Memandang datangnya Pengada dari segala pengada yakni sumber ‘Touye Papaa “. Supaya dengan Anigou, Petrus Mote, bangga, juga Merlita Tan ikut bangga. Semua masyarakat Papua ikut bangga.

Petrus Mote Anigou. Semua Anigou dengan Pendidikan. Lebih Jahu, mungkin, ' ANIGOU' dari Realitas. Mantap. Ide Umina kakak Merlita Tan.

Salam Anigou !